0

Dua Malam di Djogja

Posted by Unknown on 23.11 in


Malam minggu itu hanphone saya berdering dengan bunyi khasnya. Ternyata ada sebuah pesan masuk watsap yang secara khusus ditujukan kepada saya. Ternyata isinya perintah dari Kaprodi saya PIAUD (Pendidikan Islam Anak Usia Dini)—dimana posisi saya adalah menjadi Sekprodinya—untuk hadir serta dalam sebuah acara di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Rasa sebel seketika muncul, di saat waktunya orang libur kerja dan bercengkerama dengan keluarga, saya malah harus pergi ke Yogyakarta sebagai delegasi kampus. Tapi tak apa lah, sebagai seorang bawahan sudah barang tentu saya harus menaati apa yang menjadi perintah atasan saya.

            Minggu pagi tepat pukul 05.00 WIB saya berpamitan dengan istri, Ibu-Bapak mertua, serta Bapak-Ibu kandung saya untuk pergi ke Yogyakarta, tepatnya ke kampus UIN Sunan Kalijaga. Terlebih dahulu saya harus menempuh perjalanan bersepada motor ke Terminal Rajakwesi Bojonegoro. Disana Kaprodi saya yang cantik jelita menunggu dengan travel yang sudah dipesan, tak lupa sebelumnya ia juga memesankan satu kursi untuk saya. Sepeda butut milik saya itu kutitipkan di penitipan depan terminal, sambil mengecek barang bawaaan saya. Suara seorang perempuan memanggil-manggil saya, ternyata dari kejauahan Bu Kaprod memanggil dan menghampiri saya. Kamipun menunggu datangnya mobil elf, kendaraan travel yang sudah dipesan sebelumnya. 

            Pukul 08.30 WIB elf itu baru tiba di tempat tunggu kami. Kamipun memasukkan barang-barang dan naik, lalu duduk di kursi elf yang nyaman sekali. Perjalanan menuju Kota Yogyakarta pun dimulai, naik gunung, turun gunung, dan melewati beberapa perbukitan yang curam. Mata tertidur di dalam elf, hanya beberapa kota saja yang bisa saya nikmati saat terjaga, sebut saja Ngawi, Solo, Surakarta, dan Sragen. Tentu saat sampai di Yogyakarta, mata ini ku paksa untuk terbuka, menikmati panorama Yogya yang aduhai indahnya. Tepat pukul 13.45 WIB, kami berdua sampai di Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Elf yang tua itu membawa kami masuk ke dalam kampus, dan memberhentikan kami di depan masjid kampus yang di depannya terpampang tulisan “Laboratorium Agama”. Memang benar, masjid adalah laboratorium agama yang nyata dan hidup sebagai jantung spiritualitas dan intelektualitas kaum muslim. Namun sepertinya fungsi yang kedua ini mulai hilang, seiring runtuhnya masa kejayaan Islam di akhir masa Daulah Abbasiyah. 

Hati ini senang sekali, sampai di kampus yang konon terkenal dengan aroma akademiknnya yang kental, terutama dalam kajian pemikiran-nya. Sebut saja tokoh-tokoh jebolan kampus ini, Prof. Mukti Ali, Prof. Nurcholis Madjid, Prof. Amin Abdullah dan lain-lain. Selain itu dari rahim Yogyakarta juga terlahir tokoh-tokoh pemikir kaliber dunia lainnya, seperti Prof. Kuntowijoyo, Ahmad Wahib, Prof. Dawam Rahardjo, Prof. Syafi’i Ma’arif, Prof. Amin Rais, dan lain-lain. Selain itu juga ada Emha Ainun Najib, budayawan-intelek yang terbentuk dari sini. Mereka semua tertempa oleh iklim dan kultur akademik-intelektual yang sangat intens di Yogyakarta ini, sehingga dapat kita lihat bagaimana karya dan peran mereka di masyarakat.

Blandongan di Malam Pertama
            Saya beristirahat beberapa waktu di masjid kampus UIN Suka, sembari shalat dzuhur dan ashar. Sampai ada seseorang menjemput saya, ia adalah saudara Muttaqin, seorang mahasiswa asal Tuban dan bagian dari pengurus KPMRT (Keluarga Pelajar Mahasiswa Ronggolawe Tuban). Mas Muttaqin membawa saya di tempat yang sangat terkenal di kalangan mahasiswa Jogja, yaitu warung kopi “Blandongan”. Sudah lama saya mendengar akan eksotisnya Blandongan, bagi orang yang tak suka ngopi, mungkin tempat ini tak ubahnya warung kumuh penyedia tempat 24 jam bagi mahasiswa yang malas kuliah dan mengerjakan tugas, dan yang lebih parah lagi adalah tempat penyebab mahasiswa S1 lulus empatbelas semester. Akan tetapi bagi saya, tempat ini adalah surga. Ya, surganya orang yang memiliki mimpi besar, surganya para pemikir, surganya para penulis prolivic, surganya aktifis organsasi, dan tentu saja surganya penikmat kopi dan rokok. 

Meja dan kursi tertata rapi di pujasera yang lumayan luas. Di masing-masing meja sudah disiapkan beberapa lobang stop kontak yang bisa digunakan untuk mengisi batrai gadget, handphone atau laptop. Di bagian depan, tempat duduk dibuat lesehan yang juga dilengkapi dengan beberapa stop kontak. Selain tempat ngopi, blandongan juga menyediakan lapangan futsal yang disewakan. Setting tempat yang dibuat semacam ini sangat memanjakan bagi mahasiswa, yang suka nongkrong bersama dengan teman-temannya. Hal itu ditambah dengan area parkir yang cukup luas dan alunan musik merdu dari sound sistem yang disediakan. 

Bersama dengan kawan-kawan KPMRT, saya menghabiskan separuh malam. Bercengkerama, saling tanya kabar, diskusi dan bercerita pengalaman di organisasi masing-masing. Kepulan asap rokok memenuhi warug Blandongan malam itu, sambil ditemani kopi hitam yang pekat sekali. Bagi kami, aroma kebebasan, kreatifitas dan kebersamaan sangat terasa disini. Area yang sangat mendukung untuk menghasilkan tulisan-tulisan genuine dan orisinal dari kita masing-masing. Keakraban itu bukan sesuatu yang mengherankan, karena di sana kita dipersatukan sebagai orang-orang perantau dari Tuban Jawa Timur, yang kebetulan sedang bersama-sama berada di Yogyakarta.  Tak terasa obrolan kami pun sampai pada pukul 24.00 WIB malam, terasa sudah rasa capek dari perjalanan pagi sampai siang hari dari Bojonegoro sampai Yogyakarta. Akhirnya, saya ditawari mas Dafid (teman Tuban asal Montong) untuk istirahat di kos miliknya. Kami meninggalkan kawan-kawan lain yang masih asyik bercengkerama di Blandongan, dengan naik motor mas David yang sangat menarik hati. Sesampainya di kosan, saya mandi, shalat dan tertidur sampai pagi datang.

Pertemuan Asosiasi Dosen PIAUD di UIN Suka
            Perlu saya beri pengantar mungkin, sebelum bercerita tentang ini. PIAUD adalah nama program studi tempat saya bekerja. Ia kepanjangan dari Pendidikan Islam Anak Usia Dini yang disingkat PIAUD. Pada prodi ini saya menjadi Sekretarisnya, sehingga seperti saya singgung di atas, harus mengikuti instruksi Kaprodi untuk ikut menghadiri acara ini. Bagi saya, sangat kurang sopan dan sangat sayang jika tidak menyempatkan diri mampir ke kos Mas Dafid, dan bertemu dengan kawan-kawan Tuban lainnya. 

            Acara pertemuan Dosen PIAUD ini dimulai pada pukul 09.00 WIB. Diawali dengan ramah tamah dengan Dekan Fakultas Tarbiyah, para dosen dari berbagai kampus di Indonesia, dan yang spesial adalah kedatangan Dosen dari USIM (University Sains Islam Malaysia). 

Rangkaian acara terdiri dari beberapa bagian. Pertama diawali dengan seminar dan inagurasi seni dari Prodi PIAUD UIN Sunan Kalijaga dan Pusat Pengkajian Islam USIM Malaysia. UIN Sunan Kalijaga menampilkan peragaan pembelajaran al-Quran metode Iqra dan ringkasan Iqra dari dua taman kanak-kanak di bawah naungan UIN Suka, sedangkan USIM Malaysia memaparkan metode pembelajaran al-Quran Braile dan metode al-Baghdadi. Acara kedua adalah presentasi paper dari masing-masing dosen perguruan tinggi yang telah dipersiapkan sebelumnya, dengan tema metode pembelajaran al-Quran. Sedangkan acara ketiga yang sekaligus menjadi kegiatan penutup adalah review Kurikulum KKNI Prodi PIAUD dengan sampel draft kurikulum PIAUD STAI Al Hikmah Tuban. Tepat pukul 16.30 WIB semua kegiatan selesai dan diakhiri dengan berfoto bersama. Sehari penuh, kegiatan dilakukan dan cukup menguras energi. Akan tetapi hal itu setimpal dengan banyaknya ilmu baru yang kami peroleh dan dokumen MoU antar perguruan tinggi. Berawal dari dokumen itu setiap prodi dapat menjalin kerjasama dan mengembangkan kegiatannya masing-masing. 

            Selesai semua rangkaian acara di UIN Suka, saya langsung menuju warkop Blandongan lagi, sembari melepas lelah. Disana saya disambut teman-teman Tuban yang asyik sekali diajak ngobrol dan diskusi sambil ngopi. Setelah mata terasa ngantuk, saya menuju kos Mas Dafid. Di sana saya istirahat sambil menikmati puluhan buku yang tertata rapi. Mas Dafid adalah yunior saya di MAN Tuban ketika sekolah, tetapi dia juga merupakan guru saya dalam hal gerakan dan intelektualitas. Saya senang sekali bisa berteman dengan mas Dafid, dan teman-teman mahasiswa Tuban lainnya di Yogyakarta. Akan tetapi, waktu yang membatasi, sehingga saya tidak dapat berlama-lama di sini. Keesokan harinya, saya kembali ke Tuban dengan naik bus. Dua malam di Jogja ini, cukup membuat kenangan tersendiri dan menimbulkan decak kekaguman dalam hati, ingin sekali hidup disini dengan segala iklim intelektualitasnya, tetapi apa daya, situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan.



Wallahu A’lam



Tuban Kota, 11 Nopember 2017

0

Akreditasi Institusi STAI Al Hikmah

Posted by Unknown on 20.08 in


Dua orang asesor yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Mereka adalah Prof. Subanar, Ph.D dari Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Dr. Ahmad Yani Anshori, M.Ag., dari Fakultas Syari’ah Univeritas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Keduanya adalah dua orang asesor yang ditunjuk BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi) untuk memvisitasi beberapa perguruan tinggi di Jawa Timur pada bulan Agustus 2017 ini, termasuk salah satunya adalah institusi dimana saya bekerja, STAI Al Hikmah Tuban.


Tepat pada hari jum’at, 18 Agustus 2017 akreditasi itu dilaksanakan. Mulai dari pagi, pukul 08.00 sampai dengan pukul 18.00 WIB, dengan jeda Ishoma di siang hari. Persiapan telah dipersiapkan jauh-jauh hari, kurang lebih 5 bulan sebelumnya. Dengan bantuan seorang konselor akreditasi, panitia pesiapan akreditasi yang terdiri dari para dosen dan staff, bersama menyusun borang akreditasi dengan sebaik-baiknya, yang kemudian dilanjutkan melengkapi dokumen-dokumen bukti fisiknya. Dokumen bukti fisik adalah semua dokumen (buku, blangko, manual prosedur, dan sebagainya) yang menjadi pedoman aplikatif bukti dilaksanakannya pengelolaan dan aktifitas pergutuan tinggi yang meliputi 7 standar pergutuan tinggi. Sungguh pekerjaan yang melelahkan, karena panitia harus melengkapi semua bukti dokumen fisik itu dalam waktu yang relatif singkat, karena surat perintah visitasi dari BAN-PT mendadak sekali keluarnya.

Dari visitasi tersebut, banyak sekali kritik konstruktif yang kita dapatkan. Dua asesor yang tegas namun ramah, membuat proses akreditasi berjalan lancar dan penuh canda tawa. Kami bertekad selalu memperbaiki dan meningkatkan kualitas manajerial dan layanan pendidikan di STAI Al Hikmah ini. Dengan kerja tim yang kompak, semuanya pasti bisa teratasi. Amin. 

Bicara tentang borang akresitasi institusi, dokumen ini terdiri dari 3 bagian. Pertama adalah borang institusi sendiri yang terdiri dari 7 (tujuh) standar pendidikan tinggi. Tujuh standar itu antara lain; a) standar 1: visi, misi, tujuan dan strategi pencapaiannya, b) standar 2: tata pamong, kepemimpinan, sistem pengelolaan dan penjaminan mutu, c) standar 3: mahasiswa dan lulusan, d) standar 4: sumber daya manusia, e) standar 5: kurikulum, pembelajaran dan suasana akademik, f) standar 6: pembiayaan, sarpras dan sistem informasi, dan g) standar 7: penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan kerjasama. 

Bagian kedua adalah dokumen evaluasi diri. Dokumen ini berisi catatan evaluasi terhadap tujuh standar yang telah dipaparkan pada dokumen pertama. Segala kendala dan capaian dalam tiap standar pendidikan tinggi itu dikoreksi sedemikian rupa sisi positif dan negatifnya. Bagian ini, hanya dapat disusun setelah selesai menelaah semua dokumen standar 1 sampai dengan 7. 

Sedangkan yang ketiga adalah dokumen lampiran, yang terdiri dari SK pendirian Institusi, SK pendirian Prodi dan sertifikat akreditasi perguruan tinggi atau prodi yang telah dilakukan sebelumnya. Ketiga dokumen tersebut diprint out dan dijilid, sambil diburning di CD dan kemudian dikirimkan di BAN-PT pusat di Jakarta. BAN PT memeriksa dan memberikan tenggat waktu pendaftaran akreditasi institusi yang dibuka untuk seluruh perguruan tinggi se Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Sebelum tenggat waktu itu ditutup, tiap kampus yang menginginkan dilakukan visitasi terhadap institusinya, haruslah mengirimkan dokumen borang akreditasinya sebelum tenggat waktu itu habis. Jika sudah, kemudian akan dibuatkan jadwal visitasi yang akan dilakukan oleh dua orang asesor untuk tiap satu perguruan tinggi. 

Saya terkesan dengan kedua asesor. Sikapnya yang ramah, apa adanya, tidak ragu-ragu dalam mengkritik dan selalu menyertai kritikannya dengan solusi-solusi konstruktif. Pertama adalah Prosefor Subanar. Ia adalah asli orang Trenggalek Jawa Timur, yang sangat paham terhadap budaya Jawa dan ramah dengan sesama. Ia Guru Besar Matematika di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia secaa fokus mengoreksi dokumen borang akreditasi institusi—yang di dalamnya lengkap berisi uraian 7 standar—dengan sangat teliti. Kami yang bertanggung jawab di tiap standar sampai berkeringat dingin menjawab pertanyaan dari beliau. Kekurangan kami yang paling fatal adalah kami tidak menggambarkan fakta real sebenarnya keadaan kampus. Beliau justru tidak senang ketika dokumen yang disusun beserta bukti fisiknya itu tidak sesuai atau terlalu melangit dari keadaan institusi yang sebenarnya. Ia mengatakan “sudahlah, tidak usah berputar-putar, kit sama-sama orang Jawa, tolong Anda jawab yang sebenarnya terjadi, saya lebih senang demikian, dan itu tidak masalah”. Sembari diselingi candaan ringan, membuat suasana cair dan mengurangi ketegangan. 

Asesor kedua yang juga membuat saya terkesan adalah, Doktor Ahmad Yani Anshori. Untuk asesor yang satu ini kami tidak terlalu cemas dan khawatir, karena ia berasal dari kultur yang sama dengan kampus STAI Al Hikmah, yaitu kultur pesantren. Ia asli orang Rembang dan sekarang bekerja di almamater UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tepatnya di fakultas Syariah. Disamping itu, beberapa dosen kami juga sudah mengenal beliau, karena dulu pernah menjadi mahasiswanya selama kuliah S1. Badannya tinggi besar dengan berhias songkok hitam ala Soekarno, membuat banyak teman-teman dosen perempuan terkesan. Satu hal yang tak pernah lekang darinya adalah ia selalu menyempatkan menghisap rokok saat waktu santai. Kalau Prof. Subanar lebih fokus pada redaksional dokumen print out dan bukti fisik borang, maka Doktor Yani lebih fokus pada pencatatan hasil temuan visitasi pada aplikasi penilaian di komputer. Sesekali ia memberikan kritikan dan masukan kepada jajaran kampus, menambahi paparan dari Prof. Subanar. Proses itu berlangsung mulai pagi, dan tepat saat maghrib semua rangkaian acara sudah rampung.
Apapaun hasinya, kami bisa menerima dengan lapang dada. Karena segala biaya, daya dan upaya telah kami lakukan. Nilai akreditas A, B atau C akan sangat bermanfaat bagi institusi STAI Al Hikmah Tuban, karena kampus telah berstatus terakreditasi, yang pertama kali. Perjalanan Kampus yang berada di bawah naungan yayasan Pondok Pesantren Al Hikmah Singgahan Tuban ini mengalami grafik perkembangan yang signifikan, dalam besutan tangan dingin KH. M. Husnan Dimyathi. Berawal dari kelas jauh UNISLA yang kini sudah ditutup dan berdiri sendiri dengan nama STAI Al Hikmah Tuban, hari ini sudah dipercaya oleh masyarakat Tuban dan sekitarnya. Lima program studi, yaitu Manajemen Pendidikan Islam, Pendidikan Guru MI, Pendidikan Islam Anak Usia Dini, Ekonomi Syari’ah dan Ahwal AL-Syahsiyah kini sudah ramai dipenuhi mahasiswa. Program ke depan adalah perbaikan sistem pengelolaan sebagaimana rekomendasi dari kedua asesor, pembukaan prodi baru dan peralihan status menjadi institut. Semua ini perlu upaya ekstra dari semua pihak dan tentunya dukungan dari pemerintah.

Wallalu A’lam

Tuban Kota, 10 Nopember 2017

0

Kurang dan Lebihnya FDS

Posted by Unknown on 18.47 in
Sekolah Full Day, bagus sebagai alternatif model pendidikan di Indonesia. Karena tidak bs disangkal, kaum menengah ke atas kota yang super sibuk, tidak bs mengawasi anak-nya secara intens. Dg adanya FDS, mereka sangat terbantu.

Akan tetapi, jika itu dinasionalisasi dalam bentuk permendiknas, artinya akan berlaku nasional di seluruh Indonesia, mulai Sabang sampai Merauke.

Ini tidak akan menguntungkan, terutama bagi masyarakat grass root yg mayoritas ada di negeri ini. Mereka bekerja tak jauh dari rumah, sore dan mlm hari pun ada di rumah. Mereka bisa secara intens mendidik anaknya scr langsung. Karena di samping sekolah, ada keluarga dan masy. sbg labiratorium nyata pembentukan kepribadian anak.

Belum lagi, bicara soal lemb. Pendidikan agama non formal semacam tpq, diniyah dsb. Mereka terancam gulung tikar, jika kebijakan ini dinasionalisasi.

Al Hasil, FDS bagus ada nya sbg alternatif model pendidikan di Indonesia yg dikelola scra swasta. Tapi jika itu dijadikan kebijakan nasional, akan merugikan masyarakat menengah ke bawah di pedesaan dan lemb. pendidikan agama non formal. Karena mereka jumlahnya mayoritas menyebar dari Sabang sampai Merauke.


Wallahu A'lam.

0

Dilema Muslim Moderat dalam Pilgub DKI

Posted by Unknown on 06.36 in
Pilgub DKI putaran kedua akan dihelat besok, tanggal 19 April 2017 ini, tinggal esok hari. Lantas bagaimana kaum muslim—khususnya muslim moderat—dalam menyikapi hal tersebut, mengingat ada dua pasangan calon yang sama-sama kuat dan dilematis. Calon petahana yang memiliki basis massa dan kebetulan seorang non muslim, melawan calon penantang yang beragama Islam. Dimana dalam konteks ini, isu agama menjadi barang dagangan yang boleh jadi sangat laris dalam meraih dukungan massa.

Pertama, Basuki Cahaya Purnama (Ahok). Sebagai petahana, ia tahu persis segudang permasalahan yang ada di DKI Jakarta. Dalam berbagai debat Cagub, ia tampil memukau dengan paparan jelas dan sangat teknis mengenai sumber permasalahan dan tawaran solusi yang sedang ataupun yang akan dilakukan. Akan tetapi yang menjadi dilematis, adalah posisi Ahok yang juga seorang Kristiani berkebangsaan Tionghoa. “Etnis Tionghoa” mungkin faktor yang tidak terlalu sensitif bagi banyak orang, karena pasca reformasi dan adanya kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid, kaum Tionghoa mendapat tempat yang sejajar di mata hukum dengan warga pribumi. Warga pribumipun tak ada masalah untuk hidup berdampingan dengan masyarakat Tionghoa. Keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Satu hal yang menjadi permasalahan adalah bahwa ia adalah seorang Kristiani, yang bagi seorang muslim—dimana dari segi jumlah ia mayoritas—merupakan hal yang masih sangat tabu. Dari banyak literatur klasik yang mana itu masih diamini dan ditaqlidi oleh sebagian besar ulama’, menganggap bahwa “memilih pemimpin kafir itu hukumnya haram”. Sontak pencalonan Ahok sebagai Cagub (walau cawagubnya seorang muslim) membuat sebagian muslim di DKI Jakarta menjadi geram. Hal tersebut diperparah dengan blunder video pidato Ahok di Kepulauan Seribu tentang tafsir surat Al-Maidah ayat 51. Buah dari tindakannya tersebut berujung pada demo besar-besaran yang dihelat oleh kelompok umat Islam yang anti kepada pemimpin non muslim. Aksi yang reaksioner ini mayoritas diikuti oleh kelompok-kelompok muslim yang pro terhadap penegakan syari’at Islam sebagai hukum positif di Indonesia. Ahok yang non muslim, kemudian komentarnya terkait Surat Al-Maidah ayat 51 dan gaya keemimpinannya yang kasar, menjadi senjata ampuh bagi mereka untuk menggulingkannya dari kursi pencalonan Cagub DKI. Mewakili umat Islam Indonesia yang mayoritas berada pada tataran grass roots, maka akan sangat mudah untuk terpancing mengikuti demo anti Ahok tersebut, dengan misi mulia yaitu melengserkan calon pemimpin non muslim dan menjatuhkan pilihan kepada calon gubernur yang beragama Islam. Gelombang aksi penolakan yang dilakukan oleh beberapa gabungan ormas Islam tersebut, berujung pada aksi besar-besaran yang dilakukan beberapa kali. Akan tetapi, usaha mereka sepertinya sia-sia, karena Ahok masih tetap bebas melenggang maju terus ke kursi Cagub DKI. 

Calon kedua adalah Anis Baswedan. Ia menjadi populer dengan “Gerakan Indonesia Mengajar”-nya yang sukses menarik perhatian anak-anak muda berprestasi dan memiliki semangat tinggi untuk menjadi role model guru terbaik di daerah-daerah tertinggal. Setelah itu ia kembali tenar setelah mengikuti konvensi Partai Demokrat yang akan menentukan calon presiden 2014-2019 dari parpol ini. Ia pun mendapat basis dukungan dari anak-anak muda yang mengkonsolidasikan diri ke dalam gerakan “turun tangan”. Menurut Anis, kita tidak boleh urun angan saja terhadap Republik ini, tetapi juga harus turun tangan langsung dan bersama-sama memperbaikinya. Masih menurut Anis, salah satu gerakan turun tangan ini adalah terjun di dalam tataran praktis menjadi calon pemimpin. Namun, setelah gagal di konvensi Partai Demokrat, ia mengalihkan basis pendukungnya—yang sebagian besar anak-anak muda itu—untuk geser mendukung pasangan Djokowi-JK dan menjadi tim pemenangannya. Satu hal yang menarik, kali ini ia benar-benar menjalankan dukungan politik nya ini untuk mendapatkan posisi dalam Kabinet Jokowi. Hal itu terbayar dengan dijadikannya ia sebagai bagian tim transisi yang menyusun komposisi kabinet “Kerja” kala itu. Ia pun mendapatkan posisi menggiurkan, yaitu menteri Pendidikan Dasar dan Menengah. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama, setelah ia terkena ressufle Kabinet Kerja yang memaksanya hengkang dari jabatan menteri. Karena tidak memiliki gerbong partai politik, ia pun mengakhiri kebersamaannya dengan Jokowi dan kembali menjadi akademisi yang setia mendampingi keluarga di rumah. Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama setelah masa pencalonan Pilgub DKI tiba, ia dipinang oleh Parpol yang dulu sangat lantang ia kritik saat mendukung Jokowi, yaitu Partai Gerindra. Tanpa pikir panjang, iapun menerima pinangan dari Prabowo Subianto untuk menjadi calon gubernur bersama Sandiaga Uno. Pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi berhasil lolos pada putaran kedua setelah berhasil mengalahkan pasangan Agus-Silvi yang diusung oleh Partai Demokrat. Dukungan masyarakat DKI Jakarta—terutama umat Islam—terus mengalir kepada paslon Anies-Sandi ini. Hal yang menarik adalah banyaknya kelompok Islam pro-syari’ah atau kelompok Islamis memberikan dukungannya kepada Anies-Sandi. Sebut saja FPI (Front Pembela Islam), FUI (Forum Umat Islam) dan bahkan yang anti Demokrasi—HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)—yang ketiganya memantapkan dukungan kepada Anies-Sandi untuk mengganjal menangnya Ahok (yang non muslim) dalam perhelatan ini. Sungguh sangat dilematis, khususnya bagi muslim kebanyakan yang moderat, karena dukungan kelompok-kelompok Islam garis kanan ini mengindikasikan adanya kontrak politik berbau formalisasi syari’at Islam. Tanpa perlu bukti fisik pun—FPI, FUI dan HTI—ketiganya adalah agen-agen formalisasi syari’at Islam dalam Undang-Undang dalam segala aksi dan forum-forum kegiatannya. 

Sebagaimana kita ketahui bahwa, kaum muslim moderat adalah mereka yang ingin menjalankan ajaran agama Islam dengan damai, santun, ikhlas tanpa paksaan. Mereka adalah penjaga gawang NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan kesadaran penuh bahwa Negara Indonesia ini terbentuk oleh adanya kesepakatan bersama. Kesepakatan untuk menjunjung tinggi Pancasila, UUD 1945, prinsip kebhinekaan, dan menjaga keutuhan NKRI. Muslim moderat sadar, bahwa tidak perlu payung formal syari’at Islam yang melembaga, untuk menjalankan ajaran agama Islam. Karena Umat Islam sudah dengan leluasa dapat menjalankan ajaran agamanya tanpa intervensi siapapun. Di sisi lain, Indonesia adalah negara yang multi etnis, multi budaya, multi bahasa dan multi agama. Jika doktrin salah satu agama dijadikan sebagai peraturan hukum positif yang di-Undangkan, maka yang akan terjadi adalah konflik agama dan bahkan disintegrasi bangsa. Muslim moderat adalah mereka yang berhasil mensintesiskan antara kecintaan kepada agama Islam dan kecintaan terhadap tanah air Indonesia. 

Dua paslon dalam putaran terakhir di Pilgub DKI tahun 2017 ini menyisakan dilema berat bagi kaum muslim yang berhaluan moderat. Apabila ada dua calon pemimpin yang sama-sama baik dalam track recordnya,  maka jalan lain kemudian kita lihat apa agamanya. Jika menggunakan agama calon pemimpin sebagai indikator dalam memilih, maka sudah barang tentu pilihan akan jatuh ke Anis-Sandi. Akan tetapi melihat gelombang dukungan dari kelompok muslim kanan yang pro formalisasi syari’at Islam, maka ini juga bertentangan dengan prinsip moderasi yang sudah dipegang. 

Semoga umat Islam Provinsi DKI Jakarta bisa arif dalam memilih. Jika Ahok yang terpilih, semoga ia menjadi pemimpin yang santun, menghargai pluralitas agama dan memimpin dengan demokratis. Namun, jika Anis yang menang, semoga ia tidak terjebak dalam kontrak politik formalisasi syari’at Islam dalam bentuk Perda Syari’ah di DKI Jakarta. Hal yang lebih terpenting lagi adalah semoga tidak ada konflik vertikal maupun horizontal yang terjadi pada masyarakat DKI Jakarta. Pilihan gubernur ini adalah pesta demokrasi yang menjadi perayaan warga negara Indonesia dan harus terselengara sedara jujur, aman dan damai dengan menghormati pilihan masing-masing. 



Wallau A’lam

0

Catatan Harian Soe Hok Gie

Posted by Unknown on 14.45 in
Mengawali tulisan ini, saya ingin terlebih dahulu nyuwun sewu kepada para aktivis—atau kalau bukan mantan aktivis—dalam artian yang sesungguhnya. Para pembaca mungkin menjadi inisiator, konseptor dan eksekutor tiap aksi demonstrasi. Berbeda dengan saya yang kalau boleh saya hitung cuman dua kali ikut-ikutan turun jalan, yaitu sekali di depan Kejati Jatim dan sekali lagi di depan pintu gerbang Polda Jatim. Kemudian seingat saya sekali di dalam kampus, nglurug penyelenggara KKN yang kurang bertanggung jawab kala itu. Sungguh tiada seujung kukunya dengan peran pembaca sekalian di lapangan, ketiga aktif dalam berbagai gerakan mahasiswa, apalagi dengan tokoh yang kita kaji kali ini, Soe Hok Gie.

            Buku yang berjudul “Soe Hok Gie; Catatan Seorang Demonstran” ini terbitan LP3ES, cetakan ke 13. Jumlah cetakan yang fenomenal menunjukkan banyaknya angka eksemplar yang terjual ke pasar. Buku ini berisi xxx + 585 halaman, dengan penyunting yang memang kawakan, yaitu Ismid Haddad, Fuad Hashem, Aswab Mahasin, Ismet Nasir, dan Daniel Dakhidae. Pengantar diberikan oleh Prof. Harsja W. Backtiar yang merupakan Dekan Fakultas Sastra UI, tempat Gie belajar, Kakak Gie Sendiri—Arief Budiman—yang menjadi Dosen di Universitas Melbourne Australia, Mira Lesmana dan Riri Riza yang merupakan pasangan sutradara-produser yang memiliki ide memfilmkan buku catatan harian Gie ini. Buku ini terdiri dari 8 bagian, yaitu bagian I berisi ulasan panjang analitis yang ditulis oleh Daniel Dakhidae bertajuk “Soe Hok Gie; Sang Demonstran”. Isinya menguliti sosok Gie menurut kacamatanya sendiri yang sedikit banyak ia bandingkan dengan catatan serupa milik Ahmad Wahib. Bagian II berisi catatan Gie di masa kecil sekolah, bagian II meliputi kegiatannya diambang remaja, bagian III tulisannya diambang remaja, bagian IV bertajuk lahirnya seorang aktifis, bagian V berisi tulisannya semaca aktif menjadi demonstran, bagian VI bertajuk perjalanan ke Amerika, bagian VII bertajuk Politik, Pesta dan Penguasa dan kemudian bagian VIII (terakhir) bertajuk mencari makna.

            Namun sebatas pengamatan dan keterbatasan saya, saya hanya akan mengupasnya dalam tiga bagian. Pertama  adalah bahwa semenjak kecil Soe Hok Gie adalah anak yang kutu buku, intim dengan teman, idealis, dan berani melawan ketidak-adilan. Ia lebih banyak menghabiskan waktu membaca dan membaca buku. Terutama bacaan sastra dan politik. Ia melahap hampir semua buku sastra baik novel, maupun kumpulan puisi. Ia banyak mengetahuinya bahkan melebihi gurunya sendiri apalagi teman-temannya. Intim dengan teman, ia adalah tipe orang yang setia kawan. Dalam catatannya pada bagian awal, hampir semuanya berisikan kehidupannya dibangku sekolah, tentang teman-temannya lengkap dengan namanya masing-masing. Tentang nilai pelajarannya yang sangat rigid ia tulis angka-angkanya dan diperbandingkan dengan nilai teman-temannya. Ini menunjukkan kesungguhan dan totalitasnya dalam belajar menguasai seluruh mata pelajaran. Idealis dan berani melawan, ini dapat kita ketahui ketika ia berdebat dengan gurunya mengenai macam-macam karangan. Dimana ia protes pada gurunya bahwa karya terjemahan dari Chairil Anwar tidaklah dapat dianggap karangan Chairil Anwar, yang berjudul “Pulanglah Ia Si Anak Hilang”. Ia menentangnya habis-habisan, karena dia menilai gurunya ini telah lupa macam-macam karangan. Pertentangan dengan gurunya yang lain berujung pada tidak dinaikkannya ia ke kelas selanjutnya sewaktu SMA. Akibatnya ia menentang tetap tak mau tinggal kelas, karena ia merasa nilainya/prestasinya sangat baik. Akhirnya ia memaksa orang tuanya untuk memindahkan dirinya ke sekolah lain. Selanjutnya ia pun pindah, demi mempertahankan harga diri dan idealismenya. Ia tak mau tunduk pada keputusan yang tidak berkeadilan. Keputusan tidak menaikkan kelas dirinya itu merupakan bentuk ketidak-adilan atas dirinya yang harus ditentang sampai titik darah penghabisan. Slogannya yang terkenal, “guru tidak selalu benar dan murid bukanlah kerbau”.

            Kedua, Ia adalah sosok pemikir muda yang anti tendensi politik. Itu dapat kita lihat dalam aktifitanya mendirikan MAPALA (Mahasiswa Pecinta Alam). Ia pun mengirimkan delegasi dari MAPALA untuk mengikuti pemilu raya kampus. Dan wakilnya berhasil menang menjadi Ketua Senat Universitas Indonesia. Ia membawa gerbong baru mahasiswa, gerbong mahasiswa yang suka mendaki gunung dengan berbagai aktifitas pecinta alam dan diskusi pemutaran film. Dari sini dapat kita pahami bahwa mahasiswa harus bebas menyalurkan minat dan bakatnya semaksimal mungkin. Kemudian pada sisi lain ia menancapkan sebuah independensi dalam berpikir. Mahasiswa harus bebas mengeluarkan pikiran-pikirannya terkait persoalan bangsa sebebas-bebasnya dengan independen. Ia tak boleh terpengaruh dengan baju politis berbagai gerakan mahasiswa yang memasung kebebasan (saat itu), karena semuanya seakan menuhankan ideologinya masing-masing dan berjuang hanya demi kepentingan organisasinya, bukan kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia.

          Terakhir, ia adalah termasuk penyumbang terhadap robohnya orde lama dibawah kepemimpinan Soekarno. Soekarno dikritiknya habis-habisan. Terutama yang bisa saya tangkap adalah ide demokrasi terpimpinnya yang menurut Gie adalah demokrasi yang palsu belaka. Demokrasi hanya menjadi bungkus, yang didalamnya adalah tetap bercokolnya otoritarianisme. Kedua adalah tentang kebiasaan gaya hidup Soekarno yang berlagak bagai raja Jawa yang suka gonta-ganti istri. Baginya wanita tak lebih hanyalah alat eksploitasi hawa nafsu. Dalam bahasa yang lugas, ia mengatakan istana saat itu tak ubahnya seperti tempat pelacuran.

`Gie meninggal di usia muda, saat mendaki gunung Semeru, gara-gara menghirup sara beracun. Seandainya ia bisa lebih lama lagi hidup, mungkin akan lebih banyak lagi tulisannya yang bisa kita nikmati hingga sekarang. Namun, mungkin arwah Gie justru bersyukur, karena memang ia tak ingin mati tua. Ia takut kalau-kalau pada masa tuanya ia akan mengalami inkonsistensi dalam membela idealismenya. Seperti kaum-kaum tua yang selalu ia kritik dengan lantang dalam tulisan-tulisannya.



Wallau A’lam. 

0

Melihat dengan Kearifan; Tanggapan atas Tulisan Sahabat KPMRT Jogja

Posted by Unknown on 15.01 in
Campus Festival 2017, demikianlah tajuk sebuah kegiatan yang dikemas dalam pameran perguruan tinggi yang diikuti oleh tigapuluhan kampus. Peserta dari kegiatan ini adalah mahasiswa asal Tuban yang tersebar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia mewakili kampusnya masing-masing. Tujuan mereka sederhana, dimana agar adik-adik yang sedang menimba ilmu di bangku SMA-MA-SMK tidak kebingungan, tatkala mempersiapkan diri melanjutkan studinya ke perguruan tinggi.

Kegiatan ini telah rampung dilaksanakan, pada tanggal 21 s/d 23 Januari 2017 yang dirangkai dengan kegiatan bhakti sosial oleh segenap panitianya. Kegiatan tahun ini terbilang sukses, karena kampus yang mengikuti pameran meningkat jumlahnya—hingga 37 perguruan tinggi—yang meliputi perguruan tinggi negeri dan swasta yang tersebar di Surabaya, Madura, Malang, Bali, Semarang, Solo, Yogyakarta, Jakarta dan sebagainya, yang tak kalah pentingnya adalah seluruh perguruan tinggi di Kota/Kabupaten Tuban sendiri ikut meramaikan. Campus Festival kali ini adalah estafet dari kegiatan serupa yang diadakan tahun lalu oleh komunitas mahasiswa Tuban yang berada di Malang dan dari tahun-tahun sebelumnya lagi, dimana kali ini dilaksanakan oleh para mahasiswa Tuban yang belajar di Surabaya dan Madura yang membentuk kepanitiaan dengan nama “Suramadu”.  

Tulisan ini bukan saya tujukan untuk lebih jauh mengupas proses berjalannya kegiatan, namun sekedar tanggapan terhadap sebuah tulisan sahabat KPMRT (Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Tuban) di Yogyakarta yang beberapa hari lalu dirilis di websitenya. Apa yang ditulis oleh sahabat tersebut kurang lebih berkisar pada dua isu besar. Pertama, adalah kesan yang terlihat dan terasa oleh ketika menjadi peserta Campus Festival. Dia merasa bahwa sebagian besar mahasiswa yang mengikuti pameran ini sedang terjebak dalam euforia egoisitas kampus. Mereka terlalu membangga-banggakan kampus tempat mereka belajar dan bersifat eksklusif terhadap kampus-kampus yang lainnya, dengan menonjolkan ke-”aku”-annya dan seakan tak pernah terlintas di benaknya untuk mengekspresikan ke-“kita”-annya sebagai warga Tuban. Ini terlihat dalam seragam yang dikenakan masing-masing kampus, hampir semuanya mengenakan pakaian seragam sebagai identitas Orda (Organisasi Daerah) di tiap kampusnya dan berbangga diri dengan hal itu. Ini sangat berbeda dengan kostum yang dikenakan oleh para sahabat KPMRT yang bergabung satu stand saja (padahal di dalamnya terdiri dari beberapa kampus di Yogya) dengan pakaian bebas tanpa seragam, sesuka hati mereka. Betapa teman-teman yang lain tersebut telah terkooptasi dengan indahnya bungkus, tanpa sama sekali mementingkan isi atau esensi yang ada di dalamnya.

Kedua, adalah ikon “Tuban Bumi Wali” yang ditanggapi nyinyir oleh sahabat kita ini. Dia menyatakan entah ada kaitannya atau tidak antara tempat kegiatan yang diadakan di Budaya Loka yang itu berdekatan dengan ikon “Tuban Bumi Wali” itu di sebelah timurnya, sehingga mahasiswa yang seharusnya lebih mementingkan isi malah tertipu oleh silaunya seragam dan kebanggaan kampusnya, tanpa mengetahui lebih mendalam kondisi real Kabupaten Tuban dengan seabrek permasalahannya. Begitu halnya slogan “Tuban Bumi Wali” yang sangat besar terpampang di bundaran timur gedung Budaya loka itu dan satu lagi yang baru-baru ini dipasang di depan kantor DPRD Tuban. Dengan bahasa lain saya perjelas, menurutnya, slogan ini adalah slogan bungkus yang mengaburkan esensi kondisi real seperti apa Tuban itu. Slogan ini menjadikan warga Tuban besar kepala, karena mensiratkan seluruh warganya itu dekat dengan Tuhan atau dekat dengan surga. Atau malah ikon ini sengaja dibuat untuk pajangan agar indah sebagai background foto adik-adik SMA yang sedang lewat. Ia ingin memahamkan bahwa masyarakat telah sebegitu jauhnya ternina bobokkan oleh bungkus-bungkus yang memang sengaja dibuat oleh Si pemegang kekuasaan agar lupa dengan isi, lupa dengan kondisi real yang mereka alami akibat kebijakan-kebijakan penguasa.

Dua entri point ini tak ingin saya counter atau saya kritisi, karena sedikit banyak saya sangat setuju dengan isinya. Bahwa kita tetap harus mementingkan isi atau esensi dari pada bungkus. Akan tetapi hal yang perlu saya jabarkan adalah perlunya kita memandang fenomena Orda Tuban ini dengan kearifan. Kearifan yang saya maksudkan adalah kita tak bisa menyamaratakan konteks semua kampus dan daerah dimana kampus itu berada. Konteks kampus adalah tipikal masing-masing kampus, dimana ada macam-macam kampus, seperti kampus Negeri dan Swasta, kampus di bawah Diknas dan Depag, kampus elit dan tidak elit, kampus swasta mahal dan kampus swasta kecil yang sepi peminat. Sedangkan konteks daerah adalah kondisi geografis daerah dan iklim akademik di tiap daerah tidaklah sama, dimana sedikit banyak antara kondisi geografis dan iklim akademik tersebut dapat terkorelasi. Semisal Surabaya yang panas dan persaingan kerja yang teramat ketat, membuat pola pikir mahasiswa terkonstruk menjadi pragmatis, bagaimana mereka bisa dapat nilai bagus dan cepat lulus kuliah kemudian bekerja. Malang misalnya, kondisi geografis yang dingin dengan menjamurnya tempat wisata, baik yang alami atau buatan, menjadikan mahasiswa lebih suka berpetualang mendaki gunung atau menjelajah tempat wisata di waktu luangnya. Berbeda halnya (mungkin) dengan Yogyakarta yang sudah masyhur di mana-mana sebagai kawah candradimukanya kaum intelektual, gudangnya para seniman dan tempat bersemainya multikulturalisme. Kegiatan pergerakan mahasiswa tumbuh subur, diskusi-diskusi berjalan, idealisme benar-benar dipupuk dan dikembangkan, hal ini menciptakan iklim akademik yang sangat baik dalam rangka pengembangan kapasitas intelektual.

Konteks inilah yang harus kita perhatikan. Perbedaan-perbedaan tipe kampus dan daerah dimana kampus berada, turut memberi andil dalam mengkonstruk paradigma berpikir, gaya hidup dan bahkan sampai cara bicara mereka. Artinya, konteks ini jangan kita abaikan, tatkala ingin mempersatukan semua mahasiswa Tuban. Hal semacam ini sudah sejak lama dibicarakan sahabat-sahabat mahasiswa Tuban angkatan ‘07-‘08 semenjak enam tahun yang lalu di warung-warung kopi. Penyatuan dalam wadah yang lebih luas adalah ibarat payung yang bisa menjadi tempat berteduh bagi semua orda Tuban yang bertebaran. Payung ini dapat menjadi wadah bergerak secara bersama-sama dan menanggalkan egoisitas-eksklusifitas masing-masing kampus. Bergerak bersama-sama dalam artian mengadakan kegiatan dalam skala besar dan dengan satu nama, “mahasiswa Tuban”, tak peduli dari Desa mana dan dari kampus apa ia berasal. Tetapi kita jangan berharap intensitas kegiatan dan intensitas berkumpul mereka, buatlah agenda tahunan tiga atau ampat buah saja. Karena jarak yang sangat jauh, lintas kabupaten, lintas propinsi dan bahkan lintas pulau.

Kesepakatan lain pula yang sudah selesai dibahas kala itu adalah, adanya payung besar ini sebagai stimulis terbentuknya orda-orda Tuban di kampus-kampus yang belum terbentuk. Biarlah orda-orda Tuban di tiap kampus terbentuk, dengan apapun namanya, dengan se-intensif apapun kegiatannya. Karena di internal kampuslah mereka dapat intensif bertemu dan berkegiatan, sedangkan di luar kampusnya mereka akan memiliki jaringan orda yang lebih luas dengan payung mahasiswa Tuban itu tadi. Adanya penyatuan tadi, bukan dalam maksud peleburan semua orda yang sudah ada dengan namanya masing-masing untuk berubah menjadi satu nama, akan tetapi justru sebagai penyemai terbentuknya masing-masing orda di internal kampus yang belum ada. Sedangkan dalam konteks antar kampus, kita memiliki payung yang lebih luas, se-Indonesia (kalau bisa).

Terakhir satu hal lagi yang terpenting, adalah keterlibatan semua kampus di dalam Kota dan Kabupaten Tuban sendiri. Saya sebut Kabupaten karena di wilayah Tuban selatan juga mulai berdiri kampus-kampus kecil yang juga harus diperhitungkan. Orda-orda Tuban di luar Tuban boleh berbangga dengan kebesaran kampusnya, tetapi mereka harus kulo nuwun dan sendhika dhawuh dengan mahasiswa di dalam wilayah Tuban sendiri—yang terepresentasikan oleh Pengurus BEM—di tiap kampus. Merekalah yang paling mengerti dengan kondisi riil Tuban, dari implementasi kebijakan Pemkab Tuban sampai keadaan sebenar-benarnya masyarakat Tuban sampai di pelosok-pelosok. Oleh sebab itu, dalam proses ini, mereka wajib dilibatkan dan diajak untuk bicara.

Apabila kita bisa arif dalam melihat, maka kita akan bijak dalam bersikap, tak terkecuali dalam merajut simpul-simpul mahasiswa Tuban yang masih terserak. Jangan khawatir, Anda tidak sendirian, kaum-kaum yang sudah purna kuliah dengan beragam profesinya selalu mengawasi, melihat dari jauh dan memberikan back up penuh, karena sedari awal niat ini berangkat dari ketulusan hati semata-mata untuk Tuban tercinta.



Wallahu A’lam. 

0

Paradoks Sarjana

Posted by Unknown on 02.03 in
Sabtu dan Minggu, 22 dan 23 Oktober 2016 menjadi hari yang bersejarah bagi (mungkin) sebagian orang di Kota Malang, terutama civitas akademika UIN Maliki Malang. Karena di kedua hari itu momen wisuda sarjana yang meluluskan mahasiswa terbanyak di kampus ini dilakukan. Karena jumlah wisudawan yang terlampau banyak, maka prosesi wisuda dibagi mejadi dua gelombang, yaitu hari sabtu dan minggu. Hari sabtu diperuntukkan bagi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Humaniora dan Syari’ah, sedangkan hari minggu khusus untuk Fakultas Saintek, Ekonomi dan Pascasarjana (S2 dan S3). Jalanan sekitar Dinoyo dan Gajayana mapun Sunan Kalijaga ramai padat dipenuhi kendaraan, karena pada hari Sabtu-nya juga dilakukan prosesi wisuda serupa di kampus sebelah—UNISMA (Universitas Islam Malang)—yang merupakan kampus kebanggaan warga NU.

Saya merupakan salah satu orang yang boleh jadi beruntung, karena menjadi salah satu dari 1.900-an mahasiswa yang kuncir toganya dipindahkan dari kiri ke kanan, yang konon katanya itu menunjukkan seseorang sudah purna kuliah dengan melakukan riset akademik sebagai syarat kelulusannya. Akan tetapi kebanggaan saya seketika surut, karena menurut saya tak ada yang patut dibanggakan, sebaliknya momen tersebut merupakan renungan yang menonjok mental saya bertubi-tubi.

Pertama, wisuda yang meluluskan mahasiswa sebanyak itu ibaratnya adalah “cuci gudang” yang merupakan pemberian kesempatan atau semacam amnesty bagi sebagian besar mahasiswa yang telah molor bertahun-tahun—termasuk saya sendiri—untuk dapat lulus dan mengurangi beban moral kampus. Karena untuk mempertahankan atau mendapat akreditasi institusi yang baik, tiada lain harus meminimalisir mahasiswa yang terlalu lama menjadi “macan kampus”, tak terkecuali yang ada di program pascasarjana.

Kedua, saya menyayangkan sistem kampus yang selama ini berlaku, mengapa wisuda kelulusan harus menunggu kuota ribuan calon wisudawan terlebih dahulu, baru kemudian diluluskan. Hal itu ditambah lagi dengan lamanya pencetakan dan penandatanganan ijazah, karena map ijazah yang saya dan kawan-kawan terima adalah “map kosong” yang belum terisi ijazah di dalamnya. Kalaupun memungkinkan, bolehlah kiranya meniru sistem di kampus sebelah—Universitas Brawijaya—yang melakukan prosesi wisuda tiap bulan dengan ijazah yang sudah jadi ketika prosesi wisuda dilakukan. Jadi, tiap tahun dapat dilakukan wisuda puluhan kali. Ibarat orang dagang, mahasiswa UIN Maliki ini mengalami kerugian, karena harus membayar dan melengkapi seabrek persyaratan untuk wisuda—termasuk ujian/munaqosyah—dan lantas setelah itu dilengkapi, mereka masih harus menunggu berbulan-bulan untuk diwisuda, karena setahun hanya dilakukan dua atau tiga kali. Ditambah lagi harus menunggu ijazah siap dicetak dan ditandatangani. Otomatis, hal semacam ini memperlambat mereka yang ingin segera merambah dunia pekerjaan, ditengah-tengah iklim negeri yang terlalu mendewakan ijazah.

Kemudian ketiga, tak seimbangnya komitmen mahasiswa yang melakukan riset akhir (skripsi, tesis, disertasi) dengan dosen pembimbingnya. Ada mahasiswa yang pragmatis pokoknya lulus dan selesai secepatnya, tanpa mementingkan kualitas risetnya. Kesulitan besar akan dialami oleh mahasiswa dengan gelagat semacam ini ketika mendapatkan dosen pembimbing yang idealis. Begitu pula sebaliknya, banyak mahasiswa yang idealis ingin risetnya selesai dengan kualitas yang baik, tapi bertemu dengan dosen pembimbing yang pragmatis, bagaimana yang penting riset itu  selesai, tanpa memberikan bimbingan yang baik kepada mahasiswa bimbingannya. Saya sangat terganggu dengan pernyataan beberapa dosen yang menyatakan “skripsi/tesis/disertasi yang baik adalah yang selesai”. Jargon semacam ini akan ditangkap oleh para mahasiswa yang bermadzhab pragmatis untuk cepat-cepat menyelesaikan risertnya dan bahkan lebih parahnya mengcopy-paste riset orang lain, tanpa sama sekali memiliki idealisme untuk menghasilkan proses dan hasil riset yang berkualitas. Seyogyanya idealisme harus terlahir di kedua belah pihak, yaitu individu mahasiswa beserta dosen pembimbingnya yang dilakukan dengan mempertimbangkan asas efisiensi dan efektifitas. Idealisme yang dimaksud adalah komitmen untuk melakukan dan menyelesaikan riset dengan baik dan berkualitas sesuai dengan pedoman metodologi riset/penelitian yang ada. Efektifitas dan efisiensi adalah riset tersebut dilakukan sesuai dengan kemampuan dan tenggat waktu yang ada. Jangan sampai riset yang dilakukan terlalu membebani mahasiswa sehingga harus molor lama dan mengeluarkan biaya yang terlalu besar.

Selain masalah kualitas lulusan mahasiswa, yang menjadi pekerjaan rumah besar adalah bagaimana lulusan—termasuk saya pribadi—untuk berkarya di bidang yang sesuai dengan kompetensi ijazah. Banyak lulusan sarjana yang bekerja dan berkarya di luar bidang kompetensinya, alasannya sederhana, karena terlalu banyaknya lulusan mahasiswa yang sebidang dengannya. Sehingga pemintaan kouta jumah tenaga kerja yang sedikit, tak dapat memenuhi keseluruhan jumlah lulusan dalam suatu bidang yang overload (terlalu banyak). Akhirnya terpaksa, banyak lulusan perguruan tinggi yang banting setir bekerja di luar bidang kompetensinya. Ini salah satu akibat kurang cermatnya pemetaan baik dari pemerintah atau perguruan tinggi, yaitu antara permintaan dunia kerja (baca: kuota tenaga kerja yang dibutuhkan), dengan jumlah mahasiswa baru yang harus diterima/dibatasi. Sebut contoh saja, kuota penerimaan mahasiswa jurusan PAI (Pendidikan Agama Islam) selalu sangat banyak tiap tahunnya dibanding jurusan lainnya di Fakultas FITK pada hampir seluruh PTAI di Indonesia. Padahal kebutuhan guru PAI di suatu daerah lebih sedikit dari pada jumlah mahasiswa yang diluluskan. Tentunya, hal tersebut juga harus disertai dengan komitmen para lulusan untuk mencintai bidang pekerjaan yang sudah digelutinya selama masa kuliah, dengan tanpa mengesampingkan bakat-bakat lain yang dimilikinya. Belum lagi masalah peran kita, para sarjana lulusan perguruan tinggi di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan yang tinggi bukanlah hanya sekedar sarana untuk memperoleh kemapanan hidup secara pribadi, akan tetapi juga memiliki dimensi pengabdian sosial di masyarakat. Sebagaimana salah satu tri dharma perguruan tinggi yaitu “fungsi pengabdian masyarakat”. Peran kita masihlah sangat kecil, dan tak bernilai apa-apa, atau bahkan kompetensi kita hanya berimplikasi pada kemapanan diri pribadi kita semata. Oleh karana itu, saya mengajak diri saya dan siapapun yang merasa sebagai sarjana, janganlah terlalu bangga dengan gelar itu, karena banyak sekali  kenyataan yang paradoksal dan memerlukan jawaban segera.

Wallahu A’lam

Copyright © 2009 TANPA BATAS All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.